Abdul Haris Nasution Selain Dianggap Sebagai Perwira Senior Yang Berjasa Dalam Menumpas Pemberontakan Juga Dikenal Memiliki Keahlian Dalam – Abdul Haris Nasution (3 Desember 1918 – 6 September 2000) adalah seorang jenderal dan politikus Indonesia. Dia bertugas di militer selama Revolusi Indonesia dan tetap di militer selama pergolakan berikutnya dari Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin. Setelah lengsernya Presiden Soekarno dari jabatannya, ia menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) di bawah Soeharto. Lahir dari keluarga Batak Mandailing, di desa Hutapungkut, ia belajar mengajar dan masuk sekolah militer di Bandung.

Ia menjadi anggota Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), namun setelah invasi Jepang, ia bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta). Setelah deklarasi kemerdekaan, ia bergabung dengan militer Indonesia yang masih muda, dan berjuang selama Revolusi Nasional Indonesia. Pada tahun 1946, ia diangkat menjadi Panglima Divisi Siliwangi, satuan gerilya yang beroperasi di Jawa Barat. Setelah revolusi nasional berakhir, ia diangkat sebagai Panglima Angkatan Darat, hingga diberhentikan karena keterlibatannya dalam peristiwa 17 Oktober. Dia diangkat kembali ke posisi ini pada tahun 1955.

Abdul Haris Nasution Selain Dianggap Sebagai Perwira Senior Yang Berjasa Dalam Menumpas Pemberontakan Juga Dikenal Memiliki Keahlian Dalam

Pada tahun 1965, terjadi percobaan kudeta, yang secara resmi disalahkan pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Rumah Nasution diserang, dan putrinya terbunuh, tetapi dia berhasil melarikan diri dengan memanjat tembok dan bersembunyi di kedutaan Irak. Dalam pergolakan politik berikutnya, ia membantu Presiden Suharto bangkit, dan diangkat menjadi Ketua MPR. Dia bentrok dengan Suharto, yang melihatnya sebagai saingan, dan digulingkan pada tahun 1971. Setelah digulingkan, Nasution menjadi lawan politik Rezim Orde Baru Suharto. Meski ia dan Soeharto mulai berdamai pada 1990-an. Ia meninggal pada tanggal 5 September 2000 di Jakarta, setelah menderita stroke dan kejang. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Waspada, Rabu 4 Desember 2019 By Harian Waspada

Nasution adalah artis Dwifungsi ABRI yang diperkenalkan pada tahun 1958 yang kemudian diterima pada masa pemerintahan Soeharto. Konsep dasar yang ditawarkan adalah bagaimana ABRI tidak perlu berada di bawah kendali sipil, tetapi sekaligus tidak bisa diperintah menjadi diktator militer.

Bersama Suharto dan Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Mayjen yang diberikan pada 5 Oktober 1997, hari lahir ABRI.

Dia adalah anak kedua dan putra tertua di keluarganya. Ayahnya adalah seorang pedagang yang menjual tekstil, karet dan kopi. Ayahnya yang cinta agama dan tergabung dalam gerakan Sarekat Islam menginginkan anaknya belajar di sekolah agama, sedangkan ibunya ingin anaknya belajar kedokteran di Batavia. Namun, setelah tamat sekolah pada tahun 1932, Nasution mendapat beasiswa untuk belajar di Sekolah Raja Bukittinggi (sekarang SMA Negeri 2 Bukittinggi). Dia belajar selama tiga tahun dan tinggal di asrama.

  Pemilihan Lokasi Industri Yang Memudahkan Proses Produksi Dan Berorientasi Kewilayahan Ditunjukkan Oleh

Pada tahun 1935 Nasution pindah ke Bandung untuk melanjutkan studinya, dimana ia tinggal selama tiga tahun. Keinginannya untuk menjadi guru berangsur-angsur sirna seiring dengan tumbuhnya minatnya pada politik. Ia diam-diam membeli buku-buku karangan Soekarno dan membacanya bersama teman-temannya. Setelah lulus pada tahun 1937, Nasution kembali ke Sumatera dan mengajar di Bengkulu, di mana ia tinggal di dekat rumah pengasingan Soekarno. Dia biasa berbicara dengan Sukarno, dan mendengar dia berpidato. Setahun kemudian Nasution pindah ke Tanjung Raja, dekat Palembang, di mana dia terus mengajar, tetapi menjadi lebih tertarik pada politik dan militer.

Buku Hitam Csis

Pada tahun 1940, Nazi Jerman menduduki Belanda dan pemerintah kolonial Belanda membentuk kustodian Indonesia. Nasution kemudian bergabung, karena ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan pelatihan militer. Bersama beberapa orang Indonesia lainnya, ia dikirim ke Akademi Militer Bandung untuk menjalani pelatihan. Pada September 1940 ia dipromosikan menjadi kopral, tiga bulan kemudian ia menjadi sersan. Ia kemudian menjadi perwira di Royal Dutch East India Company (KNIL).

Pada tahun 1942 Jepang menginvasi dan menduduki Indonesia. Saat itu, Nasution sedang berada di Surabaya, ditempatkan di sana untuk menjaga pelabuhan. Nasution kemudian menemukan jalan kembali ke Bandung dan bersembunyi, karena takut ditangkap oleh Jepang. Namun, dia kemudian membantu tentara PETA yang terdiri dari penduduk Jepang dengan membawa pesan, tetapi sebenarnya dia bukan anggota.

Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang dikenal dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada Mei 1946, ia diangkat sebagai Pangdam Divisi Siliwangi yang menjaga keamanan Jawa Barat. Dalam posisi tersebut, Nasution mengembangkan teori perang nasional yang akan menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di masa depan.

Pada bulan Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menandatangani Perjanjian Renville, yang membagi Jawa antara wilayah Belanda dan Indonesia. Karena wilayah yang dikuasai Belanda termasuk Jawa Barat, Nasution terpaksa memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah.

Merajut Senja Di Panti Jompo

Pada tahun 1948 Nasution naik jabatan menjadi Wakil Panglima TKR. Meski hanya berpangkat kolonel, pengangkatan tersebut menjadikan Nasution sebagai orang terkuat kedua di TKR, setelah Jenderal Soedirman. Nasution segera mulai mengerjakan peran barunya. Pada bulan April ia membantu Soedirman dalam mengatur kembali struktur militer. Pada bulan Juni, dalam pertemuan tersebut, disetujui usul Nasution agar TKR berperang melawan Belanda dalam perang gerilya.

  Laporan Kas Kecil Yang Dibuat Oleh Petugas Pemegang Dana Kas Kecil Harus Mendapat Persetujuan Dari

Meski bukan Panglima TKR, Nasution mendapat pengalaman sebagai Panglima Angkatan Darat pada September 1948 dengan peristiwa Madiun. Kota Madiun di Jawa Timur direbut oleh mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan Musso dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Ketika berita ini sampai ke Markas TKR di Yogyakarta, diadakan pertemuan di antara petinggi militer. Sudirman sangat ingin menghindari kekerasan dan menginginkan negosiasi dibayar. Soedirman kemudian mengutus Letnan Kolonel Suharto, untuk merundingkan kesepakatan dengan pihak komunis. Setelah perjalanannya, Suharto kembali ke Nasution dan Soedirman dan melaporkan bahwa semuanya tampak damai. Nasution tidak mengandalkan perwakilan ini dan Soedirman jatuh sakit. Nasution sebagai Wakil Panglima kemudian memutuskan mengambil tindakan drastis, mengirimkan pasukan untuk mengakhiri pemberontakan komunis di sana.

Pada tanggal 30 September, Madiun direbut oleh pasukan Republik dari divisi Siliwangi. Ribuan anggota Partai Komunis dibunuh dan 36.000 lainnya ditangkap. Di antara mereka yang dibunuh oleh Musso pada 31 Oktober, dia mungkin terbunuh saat mencoba melarikan diri dari penjara. Beberapa tokoh PKI seperti DN Ait pergi ke pengasingan di Cina.

Penyerahan Markas Besar Militer Belanda di Jakarta kepada Tentara RIS dipimpin oleh Kolonel Abdul Harris Nasution yang saat itu menjabat Panglima Tentara RIS.

Abdul Harris Nasution

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda berhasil menyerang dan merebut Yogyakarta. Nasution, bersama dengan TKR dan komandan lainnya, mundur ke pedesaan untuk melakukan perang gerilya. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditangkap Belanda, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan di Sumatera. Dalam pemerintahan sementara ini, Nasution diberi jabatan Panglima Angkatan Darat dan Teritorial Jawa. Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, PDRI mengembalikan kekuasaan kepada Sukarno dan Hatta, dan Nasution kembali menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Kepala Staf Sudirman.

Pada tahun 1950, Nasution mengambil alih sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, dan T.B. Simatupang menggantikan almarhum Soedirman sebagai Panglima Angkatan Darat.

Pada tahun 1952, Nasution dan Simatupang memutuskan mengambil kebijakan reorganisasi dan reorganisasi ABRI. Dalam rencana ini, Nasution dan Simatupang berharap dapat menciptakan tentara yang kecil namun modern dan profesional.

Nasution dan Simatupang yang keduanya dilatih pemerintah kolonial Belanda ingin menyingkirkan tentara terlatih Jepang dan merekrut lebih banyak tentara terlatih Belanda. Namun hal itu ditentang oleh Bambang Supeno yang merupakan pimpinan tentara terlatih Jepang.

Mengevaluasi Peran Dan Nilai Nilai Perjuangan Tokoh Nasional

Dalam mengambil kebijakannya, Nasution dan Simatupang mendapat dukungan dari Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX. Namun, Bambang Supeno berhasil mendapat dukungan dari kelompok oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Anggota DPR pun mulai berbeda pendapat soal restrukturisasi ABRI. Nasution dan Simatupang tidak senang melihat apa yang mereka lihat sebagai campur tangan militer terhadap rakyat.

  Nrb Singkatan Dari

Pada tanggal 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang mengumpulkan pasukannya untuk parade militer. Memprotes campur tangan sipil dalam urusan militer, tentara Nasution dan Simatupang mengepung Istana Kepresidenan dan menodongkan senjatanya ke Istana. Permintaan mereka kepada Soekarno adalah meminta pembubaran DPR. Untuk itu, Nasution dan Simatupang menyatukan kembali para pengunjuk rasa. Sukarno keluar dari Istana Kepresidenan dan meyakinkan tentara dan warga sipil untuk pulang. Nasution dan Simatupang dikalahkan.

Nasution dan Simatupang kemudian diperiksa Jaksa Agung Suprapto. Pada bulan Desember 1952, keduanya kehilangan jabatannya di ABRI dan diberhentikan.

Ketika tidak lagi menjadi Panglima Angkatan Darat, Nasution menulis buku berjudul Prinsip-Prinsip Gerilya. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman Nasution sendiri berjuang dan mengorganisir perang gerilya selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Awalnya dirilis pada tahun 1953, itu menjadi salah satu buku yang paling banyak dibaca tentang perang gerilya dan karya Mao Zedong tentang topik yang sama.

Saat Jenderal Jadi Tumbal

Pada tanggal 7 November 1955, setelah tiga tahun diasingkan, Nasution diangkat kembali ke posisi lamanya sebagai Panglima Angkatan Darat. Dia segera memulai pekerjaan tentara dan strukturnya menggunakan pendekatan dua arah.

Cara pertama adalah mengatur program kerja perjalanan, sehingga para pejabat dapat ditempatkan di seluruh negeri dan mendapatkan pengalaman. Pendekatan ini juga akan membuat perwira militer menjadi lebih profesional, alih-alih merasakan ikatan dan loyalitas pribadi dengan provinsi dan wilayah asal mereka. Pendekatan kedua Nasution adalah memusatkan pelatihan militer. Semua metode pelatihan militer sekarang akan sama, bukan komandan daerah yang menemukan metode pelatihan militer mereka sendiri. Cara ketiga dan terpenting adalah meningkatkan kekuatan militer agar bisa mengurus dirinya sendiri, bukan mengandalkan keputusan rakyat. Nasution tidak keberatan menggunakan dua cara pertama, tetapi harus menunggu untuk menggunakan cara ketiga.

Pada tahun 1957, Present